Di antara kabut lavender yang menyelimuti Danau Bulan Sabit, terlukis sebuah legenda. Bukan legenda yang terpatri dalam prasasti batu, melainkan legenda yang terbisikkan angin pada kelopak bunga sakura yang berguguran. Kisah tentang Dia dan Aku, dua jiwa yang terikat benang merah tak kasat mata, sebuah simfoni takdir yang dimainkan di atas panggung waktu yang berputar.
Aku, seorang pelukis bayangan, hanya bisa menangkap pantulan wajahnya dalam genangan air. Wajahnya, selembut sutra yang ditenun dewa, terpancar dari setiap kuas yang menari di atas kanvas usangku. Matanya, dua bintang jatuh yang menyimpan lautan kesedihan, menatapku seolah mengenal seluruh rahasia alam semesta. Namun, setiap kali aku mencoba meraihnya, bayangannya memudar, lenyap ditelan ilusi pagi.
Dia, seorang penari mimpi, melayang di antara dimensi yang terlupakan. Gerakannya, seanggun bangau putih yang terbang melintasi pegunungan abadi, meninggalkan jejak aroma melati dan kenangan pahit. Suaranya, senandung lirih yang bergema di relung hatiku, menyanyikan lagu tentang cinta yang tak mungkin, tentang janji yang terukir di atas pasir pantai yang akan terhapus ombak.
Malam-malamku dipenuhi percakapan bisu dengan lukisanku, bertanya-tanya apakah dia NYATA, atau hanya fatamorgana yang diciptakan kesepian. Apakah pertemuan kita di taman bambu di bawah rembulan purnama benar-benar terjadi, atau hanya bunga tidur yang mewarnai kanvas pikiranku? Setiap sentuhan tangannya, setiap tatapan matanya, terasa begitu nyata, namun tetap saja terasa seperti mimpi.
Suatu senja, saat mentari jingga mencium permukaan danau, aku menemukan sebuah kotak musik antik di loteng rumah kakekku. Ketika kubuka, alunan melodi yang familiar mengalir, menyayat hatiku dengan kerinduan yang tak tertahankan. Lukisan di tutup kotak itu... lukisan wajahnya! Di bawahnya, terukir sebuah nama: Aiko.
Dan kemudian, KEBENARAN menghantamku seperti gelombang tsunami. Kakekku pernah menceritakan tentang cintanya yang hilang, seorang penari geisha bernama Aiko, yang meninggal karena penyakit misterius. Lukisanku, mimpi-mimpiku, pertemuanku dengannya… bukan ilusi, melainkan REINKARNASI cinta yang terpendam, takdir yang memaksa kami untuk memainkan ulang cerita lama.
Namun, keindahan pengungkapan ini justru melukai lebih dalam. Aku bukan lagi hanya pelukis bayangan, aku adalah REPLIKA dari cinta Kakekku. Dia bukan lagi hanya penari mimpi, dia adalah Aiko, yang terperangkap dalam siklus takdir yang kejam.
"Apakah kita ditakdirkan untuk mengulang kesalahan yang sama?"
…Dan di kejauhan, aku mendengar bisikan angin, "Kali ini, mungkin berbeda..."
You Might Also Like: Manfaat Skincare Lokal Aman Untuk Kulit
0 Comments: